Pages

Rabu, 08 November 2017

People Nowadays

Postingan ini mungkin sedikit nyambung sama postingan Manusia Purba (Re: Unopen-minded person). Postingan ini sebagai bentuk keresahan yang muncul lagi akibat ketidak nyamanan gue sama lingkungan yang sering dibilang kids jaman now. Jujur ungkapan kids jaman now ini nggak enak banget dikuping. Selain itu juga makna dibalik ungkapan itu, yang menurut gue agak sedikit negatif. Bagaimana tidak? Ungkapan itu seringkali dihubung-hubungkan dengan gaya pacaran anak muda jaman sekarang dimana bisa dibilang seringkali kelewat batas, atau anak-anak kecil yang sudah addicted banget sama gadget, atau juga kadang dihubungkan dengan lingkungan social media sekarang, dimana ajang kebebasan berpendapat digunakan sebagai kedok untuk nyinyirin manusia lain.

Oke, kids jaman now. Ada apa dengan kids jaman now? Pengguna instgram pasti udah sering banget kan nemuin postingan-postingan di eksplore atau akun-akun yang mengatas namakan akun kocak dengan tujuan memposting video atau gambar-gambar lucu? Ya, bukan sekali dua kali aja postingan yang diupload itu tentang anak kecil atau bisa dibilang ABG yang nyatain cinta, bawa bunga, terus si cowok berlutut gitu dihadapan si cewek, nah adegan selanjutnya adalah mereka berdua pelukan, terus audience di tempat kejadian nyorakin sambil nyanyi-nyanyi bahkan tepuk tangan. Parahnya jelas-jelas mereka masih pake seragam putih biru (re: anak SMP) Ya Allah, punya KTP aja belum, uda begini aja?



Nah selanjutnya untuk anak kecil yang addicted sama gadget, ini entah salahnya ada di lingkungan, orang tua, atau anaknya sendiri, entahlah. Tapi nggak bisa dipungkiri ya di jaman sekarang yang serba elektronik, serba social media, serba aplikasi, nggak mungkin dong orang tua tega enaknya dibilang anak cupu yang ketinggalan jaman. Lagian teknologi adalah tuntutan kebutuhan, seorang ayah mungkin nggak akan tega saat putrinya pulang dengan keadaan menangis hanya karna teman-temannya sudah bisa mengoperasikan komputer sedangkan ia tidak hanya karena ayahnya tidak mau anaknya menjadi pecandu gadget.
Lalu bagaimana seorang anak hingga bisa menjadi pecandu gadget, yaaa mungkin managemen waktu penggunaan saja yang harus lebih diperketat lagi, mungkin.

Lanjut ke people nowadays tipe ketiga, ini adalah tipe yang menurut gue rada menakutkan. Seperti yang pernah gue bilang, jaman sekarang itu banyak sekali manusia dengan mulut cabe level 100. Nggak cukup denga bullying di sekolah, di kampus, atau di lingkungan bermain, tapi sekarang udah ada yang namanya cyber bullying. Jadi cyber bullying ini adalah cara baru seseorang untuk menyebar kebencian di dunia maya. Bisa dibilang haters lah. Mereka seolah-olah memprovokasi orang-orang untuk membenci orang lain dengan kata-kata yang sering kelewat batas. Nah, adalagi yang nggak secara langsung, ada tipikal orang yang kerjaannya suka pasang story yang bertujuan menyindir dengan menggunakan kata-kata yang sarat kebencian banget. Yang tipe begini ini banyak. Ya okelah mungkin dia punya permasalahan sama orang lain yang mungkin bikin hatinya dongkol. Ya nggak apa sih kalo nyinyirin orang sekali dua kali, nah ini masalahnya, kadang hampir seluruh bahasannya itu nyindir muluuu, sampe yang baca kesel.

Apa salahnya sih mengutarakan isi hati? Ya memang nggak ada salahnya. Cuma caranya aja yang salah. Gue pikir apa nggak lebih baik kalau punya masalah sama orang lain ya nggak usahlah diumbar-umbar di medsos. Bukannya lebih baik diutarakan ke orangnya secara pribadi, bisa jadi masalahnya selese kan? Daripada ngumbar-ngumbar di medsos yang justru ngundang orang lain untuk kepo dan ujung-ujungnya tebar kebencian. Menurut gue pribadi alesan males ngomong secara pribadi sama orang yang bikin kesel itu alesan yang nggak masuk akal. Lha buktinya ngomongin permasalahan di depan orang banyak berani. Di depan orang banyak? Ya iyalah nulis-nulis nyinyiran di medsos apa namanya kalo bukan ngomong depan banyak orang? Bahkan apa yang dilakukan itu bisa jadi dibaca sama orang yang bahkan nggak kenal sama si pemilik akun. Bisa jadi ini namanya bikin pengumumuman.    

Nah, tukang nyinyir ini aduh deh parah banget. Gue pribadi pernah sih merasakan mulut pedas level 100 dari sekitar gue. Bukan pernah lagi tapi ya sampe beberapa kali. Pernah nih seorang temen gue sebut saja bunga haha enggak ding, yaah pokoknya temen gue lah iseng-iseng buka blog gue ini. Nah abis baca beberapa post, besoknya pas ketemu gue dia cerita lah kalo abis baca postingan-postingan gue, seketika dia ketawa. dia bilang gue sok gaya, sok gaul, sok ide, dan sok-sok lainnya. Katanya lagi gue itu cuma anak desa yang kuliah di Malang, yang bahkan bukan Jakarta masa iya nulis pake kata-kata 'Gue'. Terus dia bilang lagi gue sok ide pake ngritik pemerintah, sok ngomongin hal politik. Ya ampun. Astaga. Gue cuma ngelus dada. Parah banget dah ngomongnya. Pada saat itu gue ya cuma senyumin aja gue becandain aja orangnya. Karena orang begini ini kalo diladenin bakalan ga ada ujungnya. Prinsipnya never argue with an idiot.

Gue nggak akan berdalih ini blog juga punya gue, jadi terserah gue dong mau gue apain, terserah juga gue mau nulis apa, kan bukan blog elu, kenapa elu yang pusing? Nggak, karena argumen ini nggak bakal cukup untuk orang-orang macam itu. Jadi yang mau gue bilang adalah, just be your self. Bukan berarti gue mau jadi orang Jakarta haha bukan. Bukannya kita akan merasa nyaman saat jadi diri sendiri? Even itu cara ngomong. Bukannya gue sok gaul, bukan tapi saat membahas topik-topik tertentu gue rasa lebih nyaman kalau gue pake kata pengganti 'gue' dibanding saya atau aku. Rasanya kayak lebih santai gitu lebih nyaman. Nggak cocok kan kalo bahasa yang gue pake slengekan dan nggak ber EYD dengan tepat kalo di compare pada saat gue pake kata pengganti saya. Jadinya lucu, kayak gue nggak pernah belajar bahasa yang bener aja.

Jadi kenapa harus dipermasalahkan, atau bahkan jadi bahan lelucon di depan orang lain? Atau mungkin harus banget ya yang pake bahasa-bahasa kayak gitu cuman artis? Atau orang yang domisilinya di Jakarta doang? Jakarta kan juga Indonesia. Sah-sah aja dong kalo gue juga pake bahasa yang sama as long as yang baca ngerti, paham. Dan yang terpenting adalah nyaman. Selama gue nyaman, kenapa gue harus ambil pusing perkataan orang lain. Ini diliat dari sisi gue lho ya, belum tentu orang lain akan berpikiran hal yang sama. Gue sama orang nyinyir mah gue biar-biarin. Baru kalo ngeganggu banget gue kontak orangnya secara pribadi, dan sebisa mungkin nyelesein masalahnya. Atau kalo uda gedek banget, gue curhat aja gitu ke twitter atau ke blog dengan kata-kata yang setidaknya bisa dibilang pantas tanpa menyebar kebencian. Atau nggak ya gue cerita sama seseorang yang gue percaya banget yang udah biasa banget nih dengerin curhatan gue. Jadi istilahnya gue punya wadah buat ngutarain keluh kesah gue. Nah gimana ceritanya kalo orang lain tersebut nggak punya wadah? Yang malah disimpen sendiri, yang lama-lama numpuk sampe bikin stress? Ini bukan hal yang main-main, karena bisa-bisa orang itu milih jalan pintas buat mengakhiri hidupnya. Wah jadi masalah gawat kan?

Jadi kalo bisa dibilang jangan memaksakan orang lain buat bertingkah seperti elu. Jangan paksain orang ngelakuin hal-hal yang nggak nyaman bahkan untuk diri mereka sendiri. Setiap orang punya caranya masing-masing untuk menjalani hidupnya. Selama caranya sah, normal, nggak melanggar hukum atau norma, ya buat apa dinyinyirin? Kenyamana setiap orang itu beda-beda, jangan semuanya dipukul rata harus jadi kayak yang elu lakuin. Nggak bisa. Jadi untuk para haters, netizen yang budiman, stop lah nyinyir kepada orang lain hanya karena apa yang mereka lakuin nggak sesuai yang elu pengen, nggak sesuai sama yang elu lakuin, karena pada dasarnya nyinyir itu bisa berakibat fatal bagi orang-orang tertentu. Nah pesannya adalah bijaksanalah menggunakan media sosial, media sosial kan tujuannya buat sosialisasi, bukan buat ajang bully sana-sini. Jangan menjadikan hal seperti nyinyir adalah hal yang biasa, seperti apa yang bisa diasumsikan pada orang jaman sekarang.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar