Pages

Senin, 09 Oktober 2017

Cermin Pendidikan


Setiap ngomongin masalah penddidikan di negeri sendiri, rasanya setahun, dua tahun, bahkan puluhan tahun lagi, rasanya nggak pernah akan ada habisnya. Sebenernya permasalahan apa yang membuat pendidikan di negeri sendiri tidak pernah tuntas dan menimbulkan carut marut yang berkepanjangan. Apa sistem pendidikannya? Petinggi dibalik instansi pendidikannya? Tenaga pendidiknya? Atau peserta didiknya? Jika dilihat dari fakta lapangan sekarang, sepertinya semua sektor ikut andil dalam kurang maksimalnya pendidikan di negeri ini.

Kemudian, solusi yang seperti apa yang bisa memperbaikinya? Layaknya manusia yang ingin memperbaiki diri dari segala kesalahannya, manusia itu pertama kali harus bercermin terlebih dahulu. Mengapa? Karena solusi tepat akan ada ketika sumber permasalahan yang ada dicrosscek terlebih dulu. Lalu selanjutnya tidak ada salahnya melihat lingkungan sekitar sebagai cerminan untuk memperbaiki diri. Bukan begitu?

Kenapa harus melihat orang lain untuk bisa memperbaiki diri? Tentu saja jawabannya adalah karena kita sendiri belum tahu bagaimana kriteria menjadi lebih baik itu, jikalau tidak mempunyai seorang pioner, atau contoh. Boleh jadi satu contoh tidak cukup, karena tidak semua contoh akan lebih baik, atau malah tidak sesuai sama sekali.


Sama halnya dengan seperti apa cerminan yang cocok untuk mengatasi dunia pendidikan di negeri ini, agar bisa dikatakan optimal? Sebelumnya lihat terlebih dahulu cermin-cermin dunia pendidikan di dunia lain. Ambil contoh Korea Selatan. Selain huru-hara dunia entertainmentnya, ada sisi lain yang sungguh menakjubkan dari Korea Selatan. Sebagian orang yang minim pengetahuan tentang negara ini, dalam hal ini mereka yang hanya bisa beranggapan negative tentang geliat industri hiburan disana, mungkin akan sedikit takjub dengan sistem pendidikan disana. Mengapa? Ternyata setiap siswa sekolah menengah atas disana memiliki sistem belajar non-stop. Kenapa seperti itu?

Jadi, jam belajar di Korea Selatan memiliki rentang waktu belajar kurang lebih selama 12 jam! Umumnya jam belajar dimulai dari dari pukul 08:00 hingga pukul 18:20. Bayangkan berapa lama itu? Itu belum dihitung dengan jam belajar malam siswa di sana. Jika ditambah dengan jam malam maka kelas akan benar-benar berakhir pada jam 23:00. Kegiatan yang dilakukan? Duduk di kursi dan memecahkan soal-soal yang diberikan oleh guru, bahkan soal-soal yang diberikan di luar sekolah, seperti tempat bimbingan belajar. Kelas malam umumnya berlaku ketika exam week semakin dekat, atau untuk siswa tahun terakhir yang selanjutnya harus mengkuti ujian masuk Universitas. Jika bukan standar pendidikan yang tinggi yang diberlakukan oleh Korea Selatan, mana mungkin siswanya begitu keras belajar untuk menghadapi ujian masuk perguruan tinggi. Ini benar-benar membuat depresi. Di sisi lain tingkat tanggung jawab siswa, dan kedisiplinan mereka patut diacungi jempol. Dengan kesadaran sendiri mereka rela menghabiskan waktu hanya untuk belajar dan belajar. Bahkan tak sedikit cerita tentang siswa yang depresi dan kemudian mengakhiri hidupnya hanya karena merasa tanggung jawab yang sangat berat.

Mind set seperti ini yang masih jarang sekali ditemui di Indonesia. Coba lihat bagaimana gelombang demo menolak kegiatan belajar full-day. Benar-benar sangat disayangkan. Opini pribadi: “Sebenarnya kegiatan full-day yang dilakukan di Indonesia dengan kompensasi libur menjadi 2 hari yakni Sabtu dan Minggu sudah sangat adil. Tinggal bagaimana siswa tersebut mampu me-manage waktu dengan sebaik-baiknya. Lagipula dengan lingkungan belajar seperti itu belajar akan lebih baik daripada ketika dilakukan di rumah yang kadang terhambat karena godaan seperti nonton TV, nge-game, atau aktivitas-aktivitas lain diluar kegiatan belajar. Bisa dibilang full-day menjadikan aktivitas memantau anak belajar di rumah menjadi lebih ringan.” Terlepas dari problematika yang membuat akhirnya sistem full-day hanya diberlakukan pada siswa menengah atas, yaaaa sangat disayangkan. Mungkin ada beberapa oknum yang hanya melihat sisi full-day ini sebagai suatu hal yang banyak negative side-nya.

Makin kesini, banyak kebijakan-kebijakan yang mungkin bisa mengoptimalkan dunia pendidikan banyak ditolak. Salah satunya ya program full-day ini. Pada akhirnya keputusan pencabutan kembali kebijakan tersebut dilakukan, dan berujung hanya diterapkan pada siswa menengah atas. Melihat fakta ini kok menimbulkan kesan negara ini manja sekali ya? Keterbukaan akan hal-hal positive yang ditunjukkan sebagai bentuk perubahan akan sistem seperti tidak ditanggapi dengan baik, baik oleh masyarakat, maupun manusia-manusia dibalik instansi pemerintahan, yang bisa dibilang tidak haus akan perubahan.

Nah hal ini kembali lagi, kesadaran dari dalam diri sendiri, seharusnya lebih ditekankan. Dan jawaban seperti ‘susah’ sepertinya terdengar seperti lelucon. Makna susah lebih terdengar seperti sikap yang tidak ingin mencoba terlebih dulu. Nah, ini dia, mind set susah ini seperti momok yang paling dahsyat untuk melakukan suatu perubahan. Lagi-lagi, mau sampai kapan? Mau sampai kapan negeri ini dibuai dengan kemudahan? Sampai kapan negeri ini menutup mata? Hal ini membuat orang-orang yang meneriakkan globalisasi jadi terlihat sangat payah.

      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar