Setiap ngomongin masalah penddidikan di negeri sendiri,
rasanya setahun, dua tahun, bahkan puluhan tahun lagi, rasanya nggak pernah
akan ada habisnya. Sebenernya permasalahan apa yang membuat pendidikan di
negeri sendiri tidak pernah tuntas dan menimbulkan carut marut yang
berkepanjangan. Apa sistem pendidikannya? Petinggi dibalik instansi
pendidikannya? Tenaga pendidiknya? Atau peserta didiknya? Jika dilihat dari
fakta lapangan sekarang, sepertinya semua sektor ikut andil dalam kurang
maksimalnya pendidikan di negeri ini.
Kemudian, solusi yang seperti apa yang bisa memperbaikinya?
Layaknya manusia yang ingin memperbaiki diri dari segala kesalahannya, manusia
itu pertama kali harus bercermin terlebih dahulu. Mengapa? Karena solusi tepat
akan ada ketika sumber permasalahan yang ada dicrosscek terlebih dulu. Lalu
selanjutnya tidak ada salahnya melihat lingkungan sekitar sebagai cerminan
untuk memperbaiki diri. Bukan begitu?
Kenapa harus melihat orang lain untuk bisa memperbaiki diri?
Tentu saja jawabannya adalah karena kita sendiri belum tahu bagaimana kriteria
menjadi lebih baik itu, jikalau tidak mempunyai seorang pioner, atau contoh.
Boleh jadi satu contoh tidak cukup, karena tidak semua contoh akan lebih baik,
atau malah tidak sesuai sama sekali.
Sama halnya dengan seperti apa cerminan yang cocok untuk
mengatasi dunia pendidikan di negeri ini, agar bisa dikatakan optimal?
Sebelumnya lihat terlebih dahulu cermin-cermin dunia pendidikan di dunia lain.
Ambil contoh Korea Selatan. Selain huru-hara dunia entertainmentnya, ada sisi
lain yang sungguh menakjubkan dari Korea Selatan. Sebagian orang yang minim
pengetahuan tentang negara ini, dalam hal ini mereka yang hanya bisa
beranggapan negative tentang geliat industri hiburan disana, mungkin akan
sedikit takjub dengan sistem pendidikan disana. Mengapa? Ternyata setiap siswa
sekolah menengah atas disana memiliki sistem belajar non-stop. Kenapa seperti
itu?
Jadi, jam belajar di Korea Selatan memiliki rentang waktu belajar
kurang lebih selama 12 jam! Umumnya jam belajar dimulai dari dari pukul 08:00
hingga pukul 18:20. Bayangkan berapa lama itu? Itu belum dihitung dengan jam
belajar malam siswa di sana. Jika ditambah dengan jam malam maka kelas akan
benar-benar berakhir pada jam 23:00. Kegiatan yang dilakukan? Duduk di kursi
dan memecahkan soal-soal yang diberikan oleh guru, bahkan soal-soal yang
diberikan di luar sekolah, seperti tempat bimbingan belajar. Kelas malam
umumnya berlaku ketika exam week semakin dekat, atau untuk siswa tahun terakhir
yang selanjutnya harus mengkuti ujian masuk Universitas. Jika bukan standar
pendidikan yang tinggi yang diberlakukan oleh Korea Selatan, mana mungkin
siswanya begitu keras belajar untuk menghadapi ujian masuk perguruan tinggi.
Ini benar-benar membuat depresi. Di sisi lain tingkat tanggung jawab siswa, dan
kedisiplinan mereka patut diacungi jempol. Dengan kesadaran sendiri mereka rela
menghabiskan waktu hanya untuk belajar dan belajar. Bahkan tak sedikit cerita
tentang siswa yang depresi dan kemudian mengakhiri hidupnya hanya karena merasa
tanggung jawab yang sangat berat.
Mind set seperti ini yang masih jarang sekali ditemui di
Indonesia. Coba lihat bagaimana gelombang demo menolak kegiatan belajar full-day.
Benar-benar sangat disayangkan. Opini pribadi: “Sebenarnya kegiatan full-day
yang dilakukan di Indonesia dengan kompensasi libur menjadi 2 hari yakni Sabtu
dan Minggu sudah sangat adil. Tinggal bagaimana siswa tersebut mampu me-manage
waktu dengan sebaik-baiknya. Lagipula dengan lingkungan belajar seperti itu
belajar akan lebih baik daripada ketika dilakukan di rumah yang kadang
terhambat karena godaan seperti nonton TV, nge-game, atau aktivitas-aktivitas
lain diluar kegiatan belajar. Bisa dibilang full-day menjadikan aktivitas
memantau anak belajar di rumah menjadi lebih ringan.” Terlepas dari
problematika yang membuat akhirnya sistem full-day hanya diberlakukan pada
siswa menengah atas, yaaaa sangat disayangkan. Mungkin ada beberapa oknum yang hanya
melihat sisi full-day ini sebagai suatu hal yang banyak negative side-nya.
Makin kesini, banyak kebijakan-kebijakan yang mungkin bisa
mengoptimalkan dunia pendidikan banyak ditolak. Salah satunya ya program
full-day ini. Pada akhirnya keputusan pencabutan kembali kebijakan tersebut
dilakukan, dan berujung hanya diterapkan pada siswa menengah atas. Melihat
fakta ini kok menimbulkan kesan negara ini manja sekali ya? Keterbukaan akan
hal-hal positive yang ditunjukkan sebagai bentuk perubahan akan sistem seperti
tidak ditanggapi dengan baik, baik oleh masyarakat, maupun manusia-manusia
dibalik instansi pemerintahan, yang bisa dibilang tidak haus akan perubahan.
Nah hal ini kembali lagi, kesadaran dari dalam diri sendiri,
seharusnya lebih ditekankan. Dan jawaban seperti ‘susah’ sepertinya terdengar
seperti lelucon. Makna susah lebih terdengar seperti sikap yang tidak ingin
mencoba terlebih dulu. Nah, ini dia, mind set susah ini seperti momok yang
paling dahsyat untuk melakukan suatu perubahan. Lagi-lagi, mau sampai kapan?
Mau sampai kapan negeri ini dibuai dengan kemudahan? Sampai kapan negeri ini
menutup mata? Hal ini membuat orang-orang yang meneriakkan globalisasi jadi
terlihat sangat payah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar