Entah kenapa pertanyaan-pertanyaan ini ajaib menurut saya. Ajaib? Iya ini pertanyaan ajaib. Hidup itu memang penuh pertanyaan-pertanyaan ajaib ya? Misalnya aja kalo lagi kuliah, pasti ditanyain kapan lulus? Even kalian masih semester awal-awal, yang ya ampun baru juga ngerasaain dunia perkuliahan udah disuruh lulus aja. Lalu ketika sudah sarjana, udah kerja dimana? Nah ini pertanyaan intimidatif sekali.
Dua pertanyaan tadi masalah kapan lulus dan udah kerja atau belum, menurut saya masih oke ya, nah ini pertanyaan ajaib yaitu kapan nikah? Kalau dipikir-pikir 2 pertanyaan sebelumnya sih itu tergantung effort orang ya, dia bisa lulus cepet kalo dia memaksimalkan usahanya. Begitupun dengan udah kerja atau belom? Tinggal seberapa keraskah mentalmu untuk ditempa, ditolak perusahaan ini itu, tapi tetep nggak mau nyerah tetep berdiri, dan naruh surat lamaran kesana kemari, sampai dapet pekerjaan, iya nggak? Tapi kalo soal menikah lain cerita. Kok bisa?
Bagi saya, menikah itu nggak bisa ah laki-laki ini baik, ah laki-laki ini cakep, ah laki-laki ini alim, laki-laki ini mapan. Bener-bener nggak bisa. Menikah itu bukan sekedar hubungan antara 2 anak manusia, lebih dari itu menikah adalah menikahkan 2 keluarga yang sudah barang tentu berbeda dari segi suku, keluarga, kebiasaan-kebiasaan, sikap, bahkan mungkin agama, dan ini nggak bisa sesimple orang nanya kapan nikah? Dari semua perbedaan tersebut, menyatukannya gimana? Ya sulit, butuh proses. Menemukan seseorang yang bisa menerima kita juga itu sulit, dan sebaliknya. Menerima kekurangan satu sama lain, kemudian memaklumi, itu juga bukan perkara yang mudah. Apalagi berharap menemukan yang sempurna seperti harapan kita. Bisa hampir dipastikan mustahil.
Menikah juga nggak bisa tuh dengan bekal, saya cinta sama kamu, saya sayang sama kamu. Bohong kalo ada wanita yang menikah hanya karena cinta. Bukan matre ya, ini rasional. Coba pikir sudah berapa banyak materi yang dikeluarkan oleh orang tua si wanita untuk hidupnya? Makan, minum, pendidikan, uang jajan, sudah pasti orang tua wanita mengerahkan seluruh usahanya agar anaknya tersebut bahagia, dan kebutuhannya terpenuhi dengan baik. Lalu setelah itu dia akan dipinang oleh seorang laki-laki yang cuma punya cinta buat dikasih sama si wanita. Bakal dikasih ijin emang sama orang tuanya?
Selanjutnya, menikah itu harus dengan jalan yang benar, persetujuan kedua keluarga. Saya pribadi sih nggak mau memaksakan seorang laki-laki untuk menikah dengan saya kalau orang tua saya ngga bisa nerima dia. Bukannya menyepelakan si laki-laki, tapi untuk apa saya menikah ketika menyatukan 2 keluarga itu gagal saya penuhi? Solusinya? Kalau memang jodoh bakal ketemu juga kan, bagaimanapun caranya. Sejatinya kan memang Allah sudah menuliskan siapa jodoh kita, mau kita paksa gimana juga kalau memang bukan, ya nggak bakal ketemu, nggak bakal jadi. Akan banyak cara Allah memisahkan, berbagai cara. Tapi yang saya bersyukur adalah orang tua saya selalu percaya dengan pilihan saya, beliau juga tidak mempersalahkan apapun asal mereka bisa memastikan bahwa laki-laki itu seiman (Hal ini sudah termasuk dia rajin ibadahnya), dan anaknya dihidupi dengan layak, maka mereka akan mengizinkan.
Karena menikah itu berat, jadi ya memang nggak bisa main-main. Mentalnya harus ditempa dulu. Menikah sama pacaran itu beda, 360 derajat aja menurut saya nggak bisa menginterpretasi perbedaannya. Tanggung jawabnya besar. Keduanya benar-benar harus siap. Siap menjalaninya, termasuk siap untuk perdebatan-perdebatan yang akan muncul nanti ditengah-tengah mahligai rumah tangga. Poin yang paling penting, siap untuk selalu berusaha berkepala dingin untuk setiap pertengkaran-pertengkaran yang ada, dan berusaha untuk tetap bertahan, dan tidak dengan gampangnya bilang "Saya minta cerai" atau "Saya ceraikan kamu". Menurut saya orang yang seperti itu belum siap menikah, Cerai itu nggak bisa segampang diucap hanya karena pertengkaran misalkan masalah prinsip. Gara-gara sudah tidak satu prinsip, satu misi, satu visi yaudah ayo kita cerai. Astaga, kemana saja selama ini baru sadar ngga sepaham? Permasalahannya bukan karena udah nggak sepaham sih menurut saya, tapi karena egonya saja yang sudah ngga bisa diredam, karena sabarnya aja uda nggak dikasih toleransi.
Tentu saja permasalahan-permasalahan lain juga harus dipertimbangkan sampai akhirnya memutuskan untuk menikah. Menikah muda sah-sah saja sih, asalkan keduanya uda siap dalam tanda kutip, sudah benar-benar bisa dewasa dalam menyikapi permasalahan-permasalahan yang ada. Bisa meredam egonya masing-masing, dan lebih dari itu siap untuk menyatukan segala perbedaan yang sudah pasti ada. Jadi untuk terakhir kali, jangan nanya kapan saya bakal nikah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar