Pages

Senin, 12 Maret 2018

Prinsip dan Tanggung Jawab


Menjadi seseorang yang teguh terhadap pilihannya, itu adalah salah satu hal sulit. Selain rasa tanggung jawab yang harus diemban, ternyata menjadi seseorang yang bisa tetap terhadap pendiriannya itu bisa menimbulkan banyak pro dan kontra. Apalagi jika prinsip tersebut berada pada bagian minoritas. Melawan kebiasaan yang disebut sebagai mayoritas itu ngga mudah.

Alasan itu pula yang membuat saya sangat sulit untuk menentukan keputusan-keputusan besar dalam hidup. Selalu harus ada campur tangan orang lain, yang saya pertimbangkan untuk menjadi salah satu sistem pendukung keputusan. Orang tua misal. Bahkan untuk hal besar sekelas pendidikan saja, saya kadang merelakan pendapat orang tua daripada harus meneguhkan apa yang saya anggap benar-benar saya sukai, atau sesuatu yang benar-benar ingin saya tekuni. Alasannya? Saya terlalu takut. Bukan takut yang bagaimana seperti ketakutan akan orang tua yang tidak akan membiayai studi karena tidak sesuai dengan ingin mereka, toh keduanya tetap akan mempertimbangkan keputusan saya selama itu bisa dipertanggung jawabkan nanti. Yaa meskipukann nanti ada pertimbangan-pertimbangan yang tidak bisa sekalipun saya abaikan. Akhirnya, pendirian atau keinginan itu berhasil dibelokkan menjadi keputusan yang disarankan oleh beliau-beliau ini.

Lalu ketakutan yang seperti apa? Ketakutan saya adalah jikalau nanti saya tidak bisa bertanggung jawab penuh terhadap keputusan saya sendiri. Karena saya pikir lagi ukuran kepuasan orang akan berbeda-beda. Bisa jadi nanti ketika pilihan saya sudah memenuhi target, tapi beliau-beliau ini mengharapkan lebih, karena ini keputusan saya sendiri, ujung-ujungnya mereka kecewa. Hal lain adalah ketika kecewa itu ada, saya menjadi merasa bersalah karena studi setingkat Sarjana strata 1 ini biayanya nggak bisa dibilang sedikit. Banyak. Sudah kecewa, uang sudah terlanjur dikeluarkan, eh harapan hanya tinggal harapan. Sampai-sampai dulu saya sempat berpikir, ketika nanti saya memutuskan untuk menikah dengan membawa calon pilihan saya, ketika orang tua tidak setuju, dan lebih memilih saya bersama laki-laki pilihan mereka, saya akan nurut. Bahkan membiasakan untuk bersikap biasa saja dengan keyakinan bahwa pilihan ayah atau ibu tidak akan salah, pasti yang terbaik untuk saya.

Tetapi setelah semakin dewasa, saya berpikir ini tidak bisa. Tidak bisa saya bergantung terus menerus. Saya harus belajar untuk berdiri sendiri, memilih apa-apa yang saya pikir terbaik untuk saya. Karena yang paling tau tentang diri saya, ya saya sendiri. Lebih-lebih belajar untuk bisa memberlakukan prinsip-prinsip yang saya yakini lalu kemudian bertanggung jawab atas itu. Ya, saya harus. Tapi bukan berarti nanti saya harus menentang apa yang tidak bersesuaian dengan apa yang menjadi keinginan kedua orang tua, harus gontok-gontokkan, adu urat hanya untuk memenangkan idealisme saya. Tidak.

Pada dasarnya saya telah memiliki orang tua yang selalu memikirkan pendapat saya, mungkin saya saja yang sulit untuk tidak meluluskannya. Apa mungkin seperti itu juga ya? Ah mungkin. Saya terlalu terhipnotis kata-kata bahwa orang tua lebih berpengalaman terhadap hidup, jelas, mereka hidup lebih lama. Mereka lebih tau, dan lebih-lebih keputusannya adalah yang terbaik untuk anak-anaknya. Siapa yang akan menentang kalimat tersebut? Kalau nanti pun ada yang memungkiri, mungkin ada faktor lain yang akan sangat sulit dijelaskan.
Dua puluh tiga tahun seharusnya interpretasi saya terhadap hidup sudah harus lebih jelas kedepannya. Entah itu tentang keputusan saya sendiri atau ada campur tangan orang lain, tujuan hidup harus sudah lebih jelas, lebih tertata. Target juga sudah harus bisa sedikit-sedikit terpenuhi. Usaha-usaha juga harus lebih dipersiapkan lebih matang, supaya nanti kemungkinan kegagalan bisa ditekan persentasenya. 

Tulisan ini saya buat selepas saya jenuh belajar untuk sesuatu yang harus saya persiapkan. Tulisan ini begitu saja muncul karena fokus saya terdistraksi oleh sesuatu yang membuat saya kesal, yang justru rasa kesal itu merupakan hasil dari ketidak mampuan saya fokus, dan penyesalan atas waktu-waktu yang terbuang dan tidak saya manfaatkan dengan baik. Ah manusia, saya pikir adalah pribadi yang kerap sekali menyesal. Saya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar