Menjadi seseorang yang teguh terhadap pilihannya, itu adalah
salah satu hal sulit. Selain rasa tanggung jawab yang harus diemban, ternyata
menjadi seseorang yang bisa tetap terhadap pendiriannya itu bisa menimbulkan
banyak pro dan kontra. Apalagi jika prinsip tersebut berada pada bagian
minoritas. Melawan kebiasaan yang disebut sebagai mayoritas itu ngga mudah.
Alasan itu pula yang membuat saya sangat sulit untuk
menentukan keputusan-keputusan besar dalam hidup. Selalu harus ada campur
tangan orang lain, yang saya pertimbangkan untuk menjadi salah satu sistem
pendukung keputusan. Orang tua misal. Bahkan untuk hal besar sekelas pendidikan
saja, saya kadang merelakan pendapat orang tua daripada harus meneguhkan apa
yang saya anggap benar-benar saya sukai, atau sesuatu yang benar-benar ingin
saya tekuni. Alasannya? Saya terlalu takut. Bukan takut yang bagaimana seperti
ketakutan akan orang tua yang tidak akan membiayai studi karena tidak sesuai
dengan ingin mereka, toh keduanya tetap akan mempertimbangkan keputusan saya
selama itu bisa dipertanggung jawabkan nanti. Yaa meskipukann nanti ada
pertimbangan-pertimbangan yang tidak bisa sekalipun saya abaikan. Akhirnya,
pendirian atau keinginan itu berhasil dibelokkan menjadi keputusan yang
disarankan oleh beliau-beliau ini.
Lalu ketakutan yang seperti apa? Ketakutan saya adalah jikalau nanti saya
tidak bisa bertanggung jawab penuh terhadap keputusan saya sendiri. Karena saya
pikir lagi ukuran kepuasan orang akan berbeda-beda. Bisa jadi nanti ketika pilihan
saya sudah memenuhi target, tapi beliau-beliau ini mengharapkan lebih, karena
ini keputusan saya sendiri, ujung-ujungnya mereka kecewa. Hal lain adalah
ketika kecewa itu ada, saya menjadi merasa bersalah karena studi setingkat
Sarjana strata 1 ini biayanya nggak bisa dibilang sedikit. Banyak. Sudah
kecewa, uang sudah terlanjur dikeluarkan, eh harapan hanya tinggal harapan.
Sampai-sampai dulu saya sempat berpikir, ketika nanti saya memutuskan untuk
menikah dengan membawa calon pilihan saya, ketika orang tua tidak setuju, dan
lebih memilih saya bersama laki-laki pilihan mereka, saya akan nurut. Bahkan
membiasakan untuk bersikap biasa saja dengan keyakinan bahwa pilihan ayah atau
ibu tidak akan salah, pasti yang terbaik untuk saya.
Tetapi setelah semakin dewasa, saya berpikir ini tidak bisa.
Tidak bisa saya bergantung terus menerus. Saya harus belajar untuk berdiri
sendiri, memilih apa-apa yang saya pikir terbaik untuk saya. Karena yang paling
tau tentang diri saya, ya saya sendiri. Lebih-lebih belajar untuk bisa
memberlakukan prinsip-prinsip yang saya yakini lalu kemudian bertanggung jawab
atas itu. Ya, saya harus. Tapi bukan berarti nanti saya harus menentang apa
yang tidak bersesuaian dengan apa yang menjadi keinginan kedua orang tua, harus
gontok-gontokkan, adu urat hanya untuk memenangkan idealisme saya. Tidak.
Pada dasarnya saya telah memiliki orang tua yang selalu
memikirkan pendapat saya, mungkin saya saja yang sulit untuk tidak
meluluskannya. Apa mungkin seperti itu juga ya? Ah mungkin. Saya terlalu
terhipnotis kata-kata bahwa orang tua lebih berpengalaman terhadap hidup,
jelas, mereka hidup lebih lama. Mereka lebih tau, dan lebih-lebih keputusannya
adalah yang terbaik untuk anak-anaknya. Siapa yang akan menentang kalimat
tersebut? Kalau nanti pun ada yang memungkiri, mungkin ada faktor lain yang
akan sangat sulit dijelaskan.
Dua puluh tiga tahun seharusnya interpretasi saya terhadap
hidup sudah harus lebih jelas kedepannya. Entah itu tentang keputusan saya
sendiri atau ada campur tangan orang lain, tujuan hidup harus sudah lebih
jelas, lebih tertata. Target juga sudah harus bisa sedikit-sedikit terpenuhi.
Usaha-usaha juga harus lebih dipersiapkan lebih matang, supaya nanti
kemungkinan kegagalan bisa ditekan persentasenya.
Tulisan ini saya buat selepas saya jenuh belajar untuk
sesuatu yang harus saya persiapkan. Tulisan ini begitu saja muncul karena fokus
saya terdistraksi oleh sesuatu yang membuat saya kesal, yang justru rasa kesal
itu merupakan hasil dari ketidak mampuan saya fokus, dan penyesalan atas
waktu-waktu yang terbuang dan tidak saya manfaatkan dengan baik. Ah manusia,
saya pikir adalah pribadi yang kerap sekali menyesal. Saya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar