Sampai hari ini, hampir di seluruh media sosial sedang gencar membahas tentang depresi.
Ditambah lagi munculnya film Joker yang berlatar belakang seseorang yang menjadi jahat karena sering mendapatkan perlakuan yang kurang baik, sampai fenomena bunuh dirinya artis Korea yang dipicu karena depresi yang tidak kunjung mereda sampai akhirnya menyerah dan memilih untuk mengakhiri hidupnya.
Saya adalah salah satu orang yang selalu menentang huru-hara depresi ini. Saya juga yang selalu menggembar-gemborkan kalau depresi itu jangan dikasih makan, lawan. Saya juga juga yang selalu bilang sebenernya depresi itu cuma soal mindset. Kalau rasa depresi muncul secara tiba-tiba, jangan diladeni, jangan dikasih ruang. Coba pikirkan hal-hal yang membuat bahagia, pokoknya jangan tambah larut dalam kesedihan itu, agar depresi tidak semakin menjadi.
Tapi ternyata, tidak semudah itu ketika kita benar-benar merasakan depresi itu datang menimpa diri kita sendiri. Ya, I feel it, dan ya, benar. Rasanya melelahkan, membuat nafsu makan hilang, berat badan turun, tidak ingin melakukan apa-apa, rasanya hanya ingin diam dan merenung. Tidak punya daya upaya. Jangankan untuk beraktifitas, untuk sekedar bercerita saja rasanya tak sanggup. Apalagi ketika sendiri, ketika berada di dalam sebuah ruangan seorang diri, tanpa siapapun. Rasanya akan semakin menjadi. Serasa tidak ada yang peduli, serasa tidak berguna lagi, dan ya, rasa untuk mengakhiri hidup itu silih berganti meneriakkan agar kita melakukan itu. Seberat itu memang rasanya. Tidak salah.
Sekarang, saya benar-benar mengerti kenapa depresi itu memang sangat berbahaya. Dulu saya selalu berpikiran "Kenapa sih sampe bunuh diri? Ngga mikir apa kalo itu dosa? Ngga mikir apa itu rasanya sakit? Kok bisa sih?". Tapi sekarang saya tahu rasanya. Saya tahu itu berat rasanya. Untuk orang-orang di luaran sana yang sedang berjuang melawan depresi, kalian kuat, kalian bisa melalui ini, jangan sampai kalah dengan depresi :)
Jumat, 08 November 2019
Minggu, 22 September 2019
Catatan Singkat Revolusi
Beberapa hari ini Indonesia sedang dilanda kondisi yang darurat, menurut saya. Seperti yang kita tau beberapa peristiwa sedang terjadi seperti, kebakaran hutan akibat pembukaan lahan baru di Riau dan sekitarnya yang mengakibatkan asap yang menyebar hampir di seluruh Riau dan beberapa daerah di Kalimantan dan Sumatera, yang sudah dalam level yang berbahaya menurut Indeks Standar Pencemar Udara. Kemudian masalah RUU KPK yang menuai berbagai polemik pengangkatan pimpinan tertinggi lembaga KPK, hingga pro dan kontra RUU PKS yang sedang ramai.
Tapi kali ini saya tidak akan membahas tentang ke-3 hal tersebut. Selain saya tidak begitu mengerti, di lain sisi saya juga tidak memiliki kapasitas untuk memberikan solusi, sehingga akan terkesan jago nyinyir. Jadi yang akan dibahas apa? Oke, concern pertama adalah mengenai revolusi industri. memang punya kapasitas untuk membahas itu? Umm, sedikit. Revolusi industri, ada berbagai aspek yang bisa dibahas ini, tapi fokus saya adalah tentang isu ketenaga kerjaan. Apa hubungannya? Jadi gini, dewasa ini dunia sudah memasuki revolusi industri 4.0, hal yang perlu dikhawatirkan dari fenomena ini adalah, kemajuan teknologi yang semakin mutakhir membuat beberapa pekerjaan yang sebelumnya di handle oleh manusia kini mulai bergeser dan dikerjakan oleh mesin. Penggunaan mesin tentu saja lebih baik dibandingkan dengan tenaga manusia, kenapa? Karena dapat menekan biaya upah kerja buruh, dan meningkatkan jumlah produksi mengingatkan tenaga mesin tidak terbatas. Berdasarkan hal tersebut bukan hal yang tidak mungkin apabila beberapa 'job' akan musnah dikemudian hari.
Selanjutnya, dalam menghadapi dampak dari revolusi industri apa yang harus dilakukan? Tentu saja dengan mengasah skill sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh masa depan. Nah, selanjutnya adalah kita bahas tenaga kerja. Kebetulan banget nih, saya sedang nerusin kuliah yang "concern" banget sama pendidikan vokasi, khususnya di pendidikan di bidang TI (Teknik Informatika). Emang ada jurusan itu? Ada. Biasanya disebut dengan program studi pendidikan kejuruan, atau di beberapa universitas disebut dengan pendidikan teknologi dan kejuruan. Nah, kalo di tempat saya kuliah, prodi tersebut masih dibagi lagi menjadi beberapa konsentrasi seperti teknik informatika, teknik mesin, teknik elektro, teknik sipil, dan lain sebagainya. Apa yang dipelajari? Selain tentang teori dan praktik keteknikan, kita juga belajar tentang manajemen pendidikannya, dan goals-nya adalah kontribusi untuk pendidikan vokasi di Indonesia. Bagaimana cara memajukan, mencapai tujuan dari didirikannya sekolah vokasi, dan lain sebagainya.
Nah di jurusan saya ini, yang namanya revolusi industri 4.0 lagi anget-angetnya diomongin nih, hampir dar segala aspek, karena apa? Karena sekolah vokasi bertujuan untuk mencetak lulusan yang siap kerja. Seperti yang dibilang sama Jhon F. Thompson:
pendidikan kejuruan menggerakkan pasar kerja dan berkontribusi pada kekuatan ekonomi suatu negara
Namun ada faktanya, di Indonesia saat ini pendidikan menengah vokasi bukanlah pilihan favorit bagi siswa lulusan Sekolah Menengah Pertama. Bisa dibilang sekolah vokasi adalah second opinion bagi mereka yang tidak diterima di SMA favorit, atau bisa dibilang pilihan terakhir. Ngga jarang juga sekolah vokasi dipilih karena masalah dikeluarkan dari SMA sebelumnya, atau karena tidak naik kelas. Ngga usah jauh-jauh sih, dulu waktu saya lulus SMP, pilihan dari orang tua cuma silahkan melanjutkan ke SMA, dengan alasan kalau di SMA pilihan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi lebih mudah dari segi pemilihan jurusan atau ketika menghadapi SBMPTN. Berbeda dengan saya, sepupu saya justru orang tuanya menganggap bahwa sekolah vokasi tidak bagus, isinya anak-anak yang nakal dan bla...bla...bla.. Persepsi ini lah juga yang membuat citra pendidikan vokasi tidak begitu bagus di kalangan masyarakat. Dampaknya bagaimana? Lulusan yang tidak bisa dikatakan super. Hal tersebut dilihat dari fakta masih sedikit siswa yang bekerja sesuai dengan bidang yang dipelajari semasa belajar di sekolah vokasi. Selain itu berdasarkan data yang tercantum pada buku Revitalisasi Pendidikan SMK tertulis angka kebekerjaan siswa SMK lebih rendah daripada siswa SMA, dimana hal tersebut justru terkesan mengkhianati tujuan utama dari didirikannya pendidikan vokasi.
Langganan:
Komentar (Atom)