Beberapa hari ini Indonesia sedang dilanda kondisi yang darurat, menurut saya. Seperti yang kita tau beberapa peristiwa sedang terjadi seperti, kebakaran hutan akibat pembukaan lahan baru di Riau dan sekitarnya yang mengakibatkan asap yang menyebar hampir di seluruh Riau dan beberapa daerah di Kalimantan dan Sumatera, yang sudah dalam level yang berbahaya menurut Indeks Standar Pencemar Udara. Kemudian masalah RUU KPK yang menuai berbagai polemik pengangkatan pimpinan tertinggi lembaga KPK, hingga pro dan kontra RUU PKS yang sedang ramai.
Tapi kali ini saya tidak akan membahas tentang ke-3 hal tersebut. Selain saya tidak begitu mengerti, di lain sisi saya juga tidak memiliki kapasitas untuk memberikan solusi, sehingga akan terkesan jago nyinyir. Jadi yang akan dibahas apa? Oke, concern pertama adalah mengenai revolusi industri. memang punya kapasitas untuk membahas itu? Umm, sedikit. Revolusi industri, ada berbagai aspek yang bisa dibahas ini, tapi fokus saya adalah tentang isu ketenaga kerjaan. Apa hubungannya? Jadi gini, dewasa ini dunia sudah memasuki revolusi industri 4.0, hal yang perlu dikhawatirkan dari fenomena ini adalah, kemajuan teknologi yang semakin mutakhir membuat beberapa pekerjaan yang sebelumnya di handle oleh manusia kini mulai bergeser dan dikerjakan oleh mesin. Penggunaan mesin tentu saja lebih baik dibandingkan dengan tenaga manusia, kenapa? Karena dapat menekan biaya upah kerja buruh, dan meningkatkan jumlah produksi mengingatkan tenaga mesin tidak terbatas. Berdasarkan hal tersebut bukan hal yang tidak mungkin apabila beberapa 'job' akan musnah dikemudian hari.
Selanjutnya, dalam menghadapi dampak dari revolusi industri apa yang harus dilakukan? Tentu saja dengan mengasah skill sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh masa depan. Nah, selanjutnya adalah kita bahas tenaga kerja. Kebetulan banget nih, saya sedang nerusin kuliah yang "concern" banget sama pendidikan vokasi, khususnya di pendidikan di bidang TI (Teknik Informatika). Emang ada jurusan itu? Ada. Biasanya disebut dengan program studi pendidikan kejuruan, atau di beberapa universitas disebut dengan pendidikan teknologi dan kejuruan. Nah, kalo di tempat saya kuliah, prodi tersebut masih dibagi lagi menjadi beberapa konsentrasi seperti teknik informatika, teknik mesin, teknik elektro, teknik sipil, dan lain sebagainya. Apa yang dipelajari? Selain tentang teori dan praktik keteknikan, kita juga belajar tentang manajemen pendidikannya, dan goals-nya adalah kontribusi untuk pendidikan vokasi di Indonesia. Bagaimana cara memajukan, mencapai tujuan dari didirikannya sekolah vokasi, dan lain sebagainya.
Nah di jurusan saya ini, yang namanya revolusi industri 4.0 lagi anget-angetnya diomongin nih, hampir dar segala aspek, karena apa? Karena sekolah vokasi bertujuan untuk mencetak lulusan yang siap kerja. Seperti yang dibilang sama Jhon F. Thompson:
pendidikan kejuruan menggerakkan pasar kerja dan berkontribusi pada kekuatan ekonomi suatu negara
Namun ada faktanya, di Indonesia saat ini pendidikan menengah vokasi bukanlah pilihan favorit bagi siswa lulusan Sekolah Menengah Pertama. Bisa dibilang sekolah vokasi adalah second opinion bagi mereka yang tidak diterima di SMA favorit, atau bisa dibilang pilihan terakhir. Ngga jarang juga sekolah vokasi dipilih karena masalah dikeluarkan dari SMA sebelumnya, atau karena tidak naik kelas. Ngga usah jauh-jauh sih, dulu waktu saya lulus SMP, pilihan dari orang tua cuma silahkan melanjutkan ke SMA, dengan alasan kalau di SMA pilihan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi lebih mudah dari segi pemilihan jurusan atau ketika menghadapi SBMPTN. Berbeda dengan saya, sepupu saya justru orang tuanya menganggap bahwa sekolah vokasi tidak bagus, isinya anak-anak yang nakal dan bla...bla...bla.. Persepsi ini lah juga yang membuat citra pendidikan vokasi tidak begitu bagus di kalangan masyarakat. Dampaknya bagaimana? Lulusan yang tidak bisa dikatakan super. Hal tersebut dilihat dari fakta masih sedikit siswa yang bekerja sesuai dengan bidang yang dipelajari semasa belajar di sekolah vokasi. Selain itu berdasarkan data yang tercantum pada buku Revitalisasi Pendidikan SMK tertulis angka kebekerjaan siswa SMK lebih rendah daripada siswa SMA, dimana hal tersebut justru terkesan mengkhianati tujuan utama dari didirikannya pendidikan vokasi.
Dalam buku tersebut pula dijelaskan bahwa pemerintah telah berupaya dengan membalik persentase penyebaran SMA dan SMK menjadi 40:60, dimana SMK lebih tinggi untuk menghadapi revolusi industri. Namun, akibatnya terjadi lonjakan jumlah lulusan SMK yang tidak diserap dengan baik oleh pihak industri. Ada berbagai sebab mengapa keterserapan lulusan SMK sebagai tenaga kerja masih dibawah rata-rata, diantaranya adalah kurangnya kerjasama dengan pihak industri sehingga pihak industri belum sepenuhnya percaya dan menganggap siswa lulusan SMK berkompeten. Sehingga yang terjadi selanjutnya seperti yang telah disinggung diatas, banyak sekali lulusan SMK yang bekerja tidak sesuai dengan bidang yang ditekuni. Oke jadi beberapa kasus dapat dikelompokkan menjadi beberapa poin mengapa lulusan SMK tidak begitu baik keterserapan sebagai tenaga kerja.
- Kurangnya pengetahuan terhadap potensi dalam diri siswa sehingga memiliki kecenderungan untuk tidak menekuni satu bidang sesuai dengan potensinya.
- Kurangnya pengetahuan terhadap pendidikan vokasi baik dari sisi siswa maupun sisi orang tua.
- Sarana dan prasarana yang kurang mendukung pembelajaran praktik di sekolah vokasi sehingga pembelajaran yang ideal tidak terpenuhi.
- Stigma masyarakat terhadap siswa SMK yang memiliki kecenderungan susah diatur dan lain sebagainya (stigma terhadap siswa STM).
- Tidak terpenuhinya jumlah guru produktif dibandingkan guru normatif sehingga dilakukan sistem keahlian ganda.
Berdasarkan beberapa permasalahan tersebut, sudah seharusnya permaslahan harus ditangani mulai dari hal yang paling kecil. Bimbingan konseling. Bagaimana cara memaksimalkan mata pelajaran bimbingan konseling di sekolah-sekolah menengah pertama. Berdasarkan pengalaman, guru BK di SMP tidak pernah begitu serius dalam mengarahkan setiap siswa, berbeda dengan guru BK yang ada di SMA. Seperti yang kita ketahui, guru BK di SMA memiliki fokus bagaimana mengarahkan siswanya untuk tidak salah dalam menentukan Universitas, jurusan, berdasarkan potensi diri. Berbagai macam cara dilakukan baik memberikan gambaran, hingga mengundang alumni untuk datang serta memberikan pencerahan mengenai kehidupan perkuliahan. Nah, bagaimana dengan BK di SMP? Seharusnya setiap guru BK harus menjelaskan tentang jenjang apa saja yang bisa dipilih oleh siswa setelah mereka lulus, tanpa sedikit pun memiliki kecenderungan terhadap salah satu pilihan. Hal tersebut ada lho dala kurikulum BK SMP, yang tidak saya dapat pada saat saya SMP. Jadilah pada saat itu teman-teman saya lebih banyak yang masuk ke SMA dibandingkan ke SMK, meskipun bukan itu satu-satunya alasan mereka memilih SMA. Tetapi ketika ditanya pilihan mereka ingin melanjutkan kemana, jarang sekali yang menjatuhkan pilihan SMK sedari awal.
Sebenarnya permalahan tersebut adalah 'concern' yang ingin saya dalami dalam riset saya. Namun gagal disetujui oleh pembimbing, dikarenakan hal tersebut bukan merupakan isu global, dan bukan hal yang seharusnya menjadi tema riset saya karena bisa jadi hal tersebut menjjadi ranah jurusan psikologi. Sebenarnya cukup kecewa dengan kedua alasan tersebut, karena menurut saya untuk apa kita membuat riset yang menjadi isu global apabila hal tersebut tidak dapat digunakan untuk memecahkan permasalahan dalam negeri sendiri? Lalu, bukannya ini bisa menjadi riset yang baik karena mensinergikan antara 2 jurusan sekaligus sehingga hasilnya akan lebih bagus? Entahlah. Sama halnya dengan permasalahan mengapa kita harus meniadakan pembelajaran dimana teacher as center learning dibandingkan dengan blended learning kalau hal tersebut tidak dapat diterima dan menjadikan siswa paham? Karena sejatinya bukan bagaimana mutahirnya sebuah metode pembelajaran diterapkan tapi tentang bagaimana memahamkan siswa. Memang sudah seharusnya bangsa kita ini berubah menjadi bangsa yang mandiri yang tidak harus menunggu untuk dicekoki terlebih dahulu, namun faktanya? Masyarakat kita belum bisa ada di level tersebut, belum sampai pada rasa tanggung jawab yang harusnya ada pada setiap individu itu sendiri bukannya harus dipaksa terlebih dahulu. Sebuah PR memang untuk kita semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar